SELAMAT MALAM PARA KAWAN
(Menyimak info sekitar Pasai dan Barus sebagai Titik Nol
Islam Nusantara)
_________________________________________________________
__________________
Kata Pengantar
__________________
Assalamu'alaikumwarahmatullahi wabarakatuh...!
Malam ini penulis belajar tentang Pasai dan Barus sebagai
pilihan Titik Nol Islam Nusantara.
...dan...
Berikut hasil pelajarannya.
Selamat menyimak...!
______________________________________
Gambaran Kerajaan Pasai dan Barus
_____________________________________
Tiba-tiba terdengar kabar bahwa Presiden Joko Widodo akan
meresmikan Tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Tapanuli
Tengah, Sumatera Utara. Acara itu dirangkai dengan Silaturahim
Nasional Jam’iyah Batak Muslim Indonesia, 24-25 Maret 2017, di
Mandailing Natal. Kabar ini dipublikasi di situs Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia (setkab.go.id).
Penentuan ini tentu tidak jatuh begitu saja. Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama kabarnya ikut mendukung program Barus sebagai
pusat masuknya Islam pertama di Nusantara.
* Rekonstruksi sejarah atau etnografis?
Tentu penetapan Barus sebagai titik awal Islam di Nusantara
akan melahirkan perdebatan terkait basis ilmiahnya. Jika
digunakan pendekatan sejarah, yaitu pengetahuan rekonstruksi
masa lalu yang berpegang pada obyektivitas dan fakta ilmiah,
ia terikat pada metodologi yang ketat menurut sejarawan.
Tentu juga harus diingat nasihat sejarawan Inggris, RG Collingwood,
fakta sejarah tidak pernah akan sampai kepada kita secara murni.
Dia selalu memiliki bias di dalam pemikiran para perekamnya,
termasuk upaya sejarawan menuliskannya.
Dari sisi rekonstruksi sejarah, arus utama tentang sejarah mula
Islam Nusantara menyebutkan Samudera Pasai sebagai kerajaan
Islam pertama. Kerajaan ini merupakan gabungan dua kerajaan Hindu,
yaitu Samudra dan Pasai, dengan Raja Meurah Silue yang kemudian
bergelar Malik as-Salih (1267-1297) {Muhammad Said, 1981;
Anthony Reid (ed), 1995; Robert Pringle, 2010}.
Pengukuhan Pasai sebagai peradaban Islam Melayu pertama di
Nusantara juga terjadi dalam dua momentum seminar nasional,
yaitu 17-20 Maret 1963 di Medan dan 10-16 Juli 1978 di
Banda Aceh. Bahkan, dalam seminar ditemukan juga dalil-dalil
tentang jejak kekuasaan Pasai sejak abad ke-11.
Salah satu dokumen tertua tentang keberadaan Kerajaan Pasai
ditulis oleh pelancong Venesia, Marco Polo, yang masih sempat
bertemu dengan Sultan Malik as-Salih (1292).
Kesaksian etnografis Marco Polo tentang Pasai dan tujuh ”kerajaan”
lainnya di Sumatera (hanya enam yang sempat disinggahinya)
memiliki kesan berbeda. Ia menyiratkan Pasai yang terbesar.
Penyebutan Perlak adalah tempat pertama yang ia jelajahi.
Selain Pasai dan Perlak yang Muslim, kerajaan lain dikatakan
masih menganut agama pagan dan bertradisi kanibal (Reid, Sumatera
Tempo Doeloe, 2010: 8-10).
Beberapa bukti arkeologis seperti ingin mencecar tentang
kesahihan Pasai sebagai kerajaan tertua Islam Nusantara. Ada
upaya untuk menjadikan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama
dengan menggunakan pseudofakta, yaitu makam berpenanggalan 840 M.
Demikian pula memajukan Barus sebagai kerajaan tertua Islam di
Nusantara dengan dalil bahwa pedagang Muslim telah masuk di
daerah ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M (625-642 M),
tapi tidak memiliki bukti arus utama sejarah.
* Tak kunjung berhasil
Saya pernah menjadi pembahas riset Kerajaan Perlak oleh sebuah
tim perguruan tinggi di Langsa, beberapa tahun lalu. Hasil riset
itu tak kunjung berhasil menunjukkan dokumen valid bahwa Perlak
telah berdiri sebagai sebuah pemerintahan dibandingkan dengan
sekadar komunitas etnis-agama.
Hal ini tentu berbeda dengan Kerajaan Pasai yang telah dikenal
memiliki pemerintahan yang relatif modern, penggunaan mata uang
emas pertama di kerajaan Islam Asia Tenggara, kekuatan kemiliteran,
juga hubungan perdagangan dan politik internasional (Teuku Ibrahim
Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999: 3-4).
Selama ini, peneguhan orbit selain Pasai dilakukan tidak dengan
pendekatan historis, tetapi etnografis, yaitu melalui sejarah
tuturan. Masyarakat di sana (Perlak dan Barus) memercayai bahwa
daerah merekalah yang menjadi titik awal Islam, bukan Pasai.
Sebenarnya penggunaan sejarah tuturan demi mengungkap kebenaran
masa lalu sah ketika tidak ada upaya lain untuk membongkar bangunan
borjuisme sejarah (Paul Thompson, Oral History : Voice of the Past,
2000: 28). Namun, penentuan sejarah Pasai tidak terjadi dalam
ruang politik, tapi pembuktian saintifis. Antropolog pada era kolonial,
seperti Snouck Hurgronje dan sejarawan Jean Pierre Mouquette, ikut
menunjukkan bukti-bukti keberadaan Kerajaan Pasai sebelum
ditaklukkan Kerajaan Aceh pada 1524.
* Pasai layu, Barus mekar
Meski demikian, bukan berarti Barus tidak penting dalam
sejarah Nusantara. Kota Tua Barus telah dikenal di Timur Jauh,
Eropa, dan Afrika Utara berabad- abad sebelum Masehi serta menjadi
pelintasan penting perdagangan kamper, kemenyan, cendana, dan emas.
Kota metropolis Sumatera itu mencapai puncaknya pada abad ke-10,
kemudian terus menurun menjadi hanya kota kecamatan lusuh dan sepi
(Kompas, 1 April 2005).
Namun, bukti-bukti arkeologis pertama Barus tidak merujuk pada
khazanah Islam. Jauh sebelum Islam, Barus telah dikenal sebagai
asal daerah Batak Toba.
Pada abad ke-11, berdasarkan penelitian epigrafi dan arkeologi,
terkuak fakta makam-makam Hindu berbahasa Tamil di daerah ini
(Claude Guillot, 2002). Makam-makam ulama di Papan Tenggi yang
berpenanggalan abad ke-13 terjadi pada fase lain, ketika Barus
mulai sepi sebagai kota perdagangan dunia.
Sejak Kerajaan Pasai melemah dan redup pada akhir abad ke-15,
poros peradaban dan sastra Melayu akhirnya pindah ke pantai
barat-selatan, yaitu wilayah Barus dan Singkil. Di daerah inilah
dua hal berkembang secara bersamaan, yaitu filsafat Islam wujudiyah
dan kesusastraan Melayu.
Tokoh utama sejarah Melayu dari Barus adalah Hamzah al-Fansuri
yang diperkirakan lahir 1570-an dan meninggal pada 1630-an.
Fansur sendiri berarti ’kapur barus’. Dulunya daerah Barus
masuk wilayah Kerajaan Aceh. Pemikir besar lain yang lahir
120 kilometer dari Barus (Singkil) ialah Syekh Abdurrauf
as-Singkili (1615-1693).
Berbeda dengan pengembangan Islam di wilayah Pasai yang berporos
pada fikih mazhab Syafi’iyah, Barus dan Singkil menjadi tempat
bersemainya gagasan tasawuf, terutama tarekat sattariyah.
Tasawuf sebagai ilmu agama batin menjadi katalisator berkembangnya
Islam toleran, inklusif, dan progresif. Berkembangnya tradisi zikir
dan suluk di Nusantara sangat dipengaruhi pemikiran sufisme dari
Barus dan Singkil.
Meski demikian, ada hal yang masih menghubungkan antara Pasai
dan Barus. Karya-karya tokoh tasawuf, seperti Syarab al-’Asyikin,
Mir’atul Thulab, Tarjuman Mustafid, atau Umdat al-Muhatajin Suluk
Maslak al-Mufridin dituliskan dalam bahasa Melayu dan beraksara
Arab yang diserupakan dengan bahasa Pasai.
Gagasan pengembangan Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari
kesusastraan Melayu Pasai pada abad ke-13 hingga ke-14. Ini
merupakan pembabakan perkembangan sastra Melayu Islam pertama
di dunia atau perkembangan kedua setelah sastra Melayu Buddha
di Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-13 (Abdul Hadi WM dalam
Sardono, 2005).
Akhirnya, secara genealogis, Islam Nusantara tidak boleh melupakan
Pasai sebagai titik air pertama peradaban Islam-Melayu, bukan
sekadar replikasi ”agama Mekkah” yang dibawa pedagang-pelawat
India, Arab, dan China.
Akan tetapi, jika yang dimaksudkan di sini adalah Islam sufisme,
tepatlah menyebut Barus tanpa mengecilkan Singkil.
Teuku Kemal Fasya
Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh; Antropolog Aceh
http://pustakacompass.com/titik-nol-islam-nusantara/
____________
Hidayatullah.com– Penentuan Barus di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara,
sebagai titik awal masuknya Islam ke Indonesia sebenarnya sudah
pernah dibahas dalam seminar nasional bertema “Sejarah Masuknya
Islam di Indonesia” tahun 1962.
“Dulu, itu zamannya Pak Hamka. Tapi, memang fakta-fakta sejarahnya
masih minor, belum bisa dipastikan,” jelas Sejarawan Dr Tiar Anwar
Bachtiar saat dihubungi hidayatullah.com, Sabtu (25/03/2017) kemarin.
Tiar mencontohkan seperti penemuan adanya batu nisan di Makam Mahligai
Barus. “Ini pun masih debatable (belum pasti. Red). Ada yang
menafsirkan ditemukannya tahun 48 Hijriyah. Tapi, setelah dilakukan
riset ternyata usianya lebih
bukan 48 Hijriyah,” terangnya.
* sebelum Abad ke-10 Masehi
Menurut peneliti INSISTS ini, justru yang sering dipakai sebagai
sumber bahwa Islam masuk pertama di Barus adalah catatan pelancong
China yang bertemu dengan komunitas Arab di sana.
“Memang Barus ini menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Arab,
untuk rempah-rempah terutama kamper atau kapur barus,” imbuhnya.
Bahkan, Tiar mengatakan, sejak abad pertama, sudah terbangun hubungan
antara Timur Tengah dengan kawasan Nusantara (Barus. Red).
“Kalau makam belum bisa dipastikan bahwa berasal dari abad
ke-7 Masehi,” tegas Tiar.
Meskipun ada penafsiran soal usia batu nisan yang terdapat di makam
(48 Hijriyah), menurut Tiar, tidak relevan dengan beberapa hasil
riset. Misalnya, riset terhadap bebatuan yang ada di makam tersebut,
baik dari model atau bentuk dan sebagainya.
“Sehingga hasil riset tersebut tidak mendukung penafsiran usia batu
nisan di makam. Bahkan, belakang muncul hasil riset yang menyebutkan
kawasan makam itu muncul abad ke-14 atau 15 Masehi. Jadi, makam
tersebut sebenarnya masih ‘muda’ usianya. Bukan makam yang berasal
dari abad ke-7 Masehi,” paparnya.
Justru fakta sejarah masuknya Islam di Indonesia bukan mengenai
makam itu, tapi catatan pelancong China yang menemukan komunitas
Arab di Barus. Meski ini juga masih ada perdebatan di kalangan
sejarawan, tapi catatan tersebut memang benar adanya.
“Meski demikian, selama ini yang dipercaya dan diyakini masyarakat
setempat secara lisan sebagai titik awal masuknya Islam memang
makam Mahligai di Barus,” ujarnya.
Baca: Situs Sejarah Islam Barus Terancam Punah
Makam Mahligai Dinilai ‘Masih Muda’
Jadi, menurut Tiar, tidak relevan jika menyebut pemakaman Mahligai
di Barus sebagai titik awal masuknya Islam ke Nusantara. Sebab,
usia batu nisan di makam masih ‘muda sekali’.
Tapi, jika mengatakan bahwa kawasan Barus sebagai titik awal masuknya
Islam bisa saja benar, sebab ada info yang menyebutnya seperti itu.
“Fakta sejarahnya antara lain berupa catatan pelancong China yang
ditemukan oleh beberapa peneliti bahwa ia pernah sampai di kawasan
Barus sekitar abad ke-7,” jelasnya.
Menurut Tiar, komunitas Muslim di Barus tidak jelas siapa, dari mana,
dan sebagainya. Jadi, informasinya masih samar-samar. “Namun, itu bisa
dijadikan indikasi bahwa memang sejak abad ke-7, Islam sudah datang
ke Barus,” tutupnya.
Diketahui, Jumat (24/03/2017) lalu, Presiden RI Joko Widodo
meresmikan tugu titik nol kilometer masuknya agama Islam ke
Nusantara di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Dalam sambutannya Presiden Jokowi mengakui, sudah sudah lama mendengar
sejarah Kota Barus. Dimana dalam literatur mumi yang ada di Mesir
bisa diawetkan karena pakai kapur Barus. Dan juga ratusan tahun
yang lalu peradaban nenek moyang Indonesia telah berhubungan erat
dengan saudagar dari Timur Tengah dengan penyebaran agama Islam
pertama di Nusantara.
“Sejarah tentu meninggalkan bukti atau situs. Dan tadi pagi saya
telah mengunjungi Makam Mahligai. Disana terdapat banyak makam
pedagang dari Timur Tengah yang kita yakini sebagai aulia membawa
masuknya agama Islam melalui Barus,” ujar Presiden dikutip
Antarasumut.*
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2017/03/26/113829/soal-barus-titik-nol-islam-di-nusantara-ini-penjelasan-sejarawan.html
____________
Penutup
____________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
Dengan demikian jelas, bahwa Barus adalah Titik Nol Islam
Nusantara dengan gambaran alasan :
1. Barus lebih tua (7 M)atau lebih dulu ada dibandingkan
Pasai (12-13 M)
2. Barus menjadi Titik Nol bukan saja karena adanya catatan
pelancong Cina yang memberitahu bahwa beliau pernah ke
Barus pada abad ke-7, juga karena adanya makam mahligai
yang diperkirakan telah ada sejak 7 M.
3. Alasan lainnya, islam yang dimaksud adalah Islam sufisme
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh...!
__________________________________________________________
Cat :
No comments:
Post a Comment