Friday, November 22, 2013

Murtat 2 : Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Agama Islam

#SELAMAT MALAM PARA KAUM MUSLIMIN MUSLIMAT#
(Menyimak info sekitar Murtat serta bagaimana hukumnya
dalam pernikahan beda agama)
_________________________________________________________
























_________________

Kata Pengantar
_________________

Postingan ini adalah kelengkapan dari link :
http://angkolafacebook.blogspot.com/2013/11/murtat-1-jonas-rivanno-dan-macam.html

Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh...!

Berikut informasinya, semoga memberi manfaat khsusnya untuk
para ummat muslim Batak dan umumnya ummat muslim Nusantara.

Selamat menyimak...!

________________________________________________

Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Agama Islam
________________________________________________

Tulisan ini hanya merupakan kutipan dari Kitab Fiqh (Kitab
Hukum Islam), yang menerangkan masalah Perkawinan dalam Islam,
serta beberapa Kitab Penjelasnya.

Rukun Pernikahan dalam Islam, Yaitu :

Adanya calon suami (pengantin laki-laki), calon isteri (pengantin
perempuan), wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, ijab dan kabul
(akad nikah) yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

Syarat Calon Suami, yaitu :

    Islam

    Lelaki yang tertentu

    Bukan lelaki mahram dengan calon isteri

    Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut

    Bukan dalam ihram haji atau umrah

    Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan

    Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa

    Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri

Syarat calon isteri, yaitu :

    Islam

    Perempuan yang tertentu

    Bukan perempuan mahram dengan calon suami

    Bukan seorang khunsa

    Bukan dalam ihram haji atau umrah

    Tidak dalam masa iddah

    Bukan isteri orang

Syarat Wali Nikah, yaitu :
    Islam, bukan kafir dan murtad

    Laki-laki

    Baligh

    Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan

    Bukan dalam ihram haji atau umrah

    Tidak fasik

    Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya

    Merdeka

    Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya

Syarat saksi nikah, yaitu :

    Sekurang-kurangya dua orang

    Islam

    Berakal

    Telah pubertas

    Laki-laki

    Memahami isi lafal ijab dan qobul
    Dapat mendengar, melihat dan berbicara

    Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak
    terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)

    Merdeka

Syarat ijab, yaitu :

    Pernikahan nikah ini hendaklah tepat

    Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran

    Diucapkan oleh wali atau wakilnya

    Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak
    atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo
    tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)

    Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)

Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:“Aku nikahkan
Anda dengan Fatimah Binti Sultan dengan mas kawin berupa seperangkap alat
salat dibayar tunai”.
Syarat qobul, yaitu :

    Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab

    Tidak ada perkataan sindiran

    Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)

    Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)

    Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)

    Menyebut nama calon istri

    Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

Contoh sebutan qabul (akan dilafazkan oleh bakal suami):“Aku terima
nikahnya dengan Fatimah Binti Sultan dengan mas kawin berupa seperangkap
alat salat dibayar tunai” ATAU “Aku terima Fatimah Binti Sultan sebagai
istriku”.

Sebagaimana uraian hukum di atas, semua pihak yang terlibat dalam
terjadinya sebuah pernikahan secara Islam haruslah orang yang beragama
Islam (muslim).

Akan tetapi, bagaimana apabila salah satu pihak adalah non-muslim, baik
karena asalnya merupakan pemeluk keyakinan non-Islam maupun karena Murtad
(keluar dari Agama Islam)?

Pada artikel ini, yang akan diterangkan adalah calon suami atau isteri
yang non-muslim, bukan wali dan saksinya karena hukum wali dan saksi
sudah mutlak harus beragama Islam. Apabila wali dan saksi tidak beragama
Islam, maka sudah jelas perkawinan tersebut tidak sah (dalam hukum Islam).

Pernikahan Pria non-muslim dengan Wanita muslim Berdasarkan Hukum Islam :

Perkawinan antara Pria (NON-MUSLIM) dengan Wanita (MUSLIM) telah disepakati
hukumnya berdasarkan Al-Qur’an, Hadist, dan oleh para ahli Fiqh Islam dari
semua madzhab, yaitu HARAM (tidak sah).

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah 60:10 :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.

Dalam Al-Quran Surah Al Baqarah 2:221 Allah SWT juga berfirman :

Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

Oleh karena ayat-ayat tersebut sangat terang dan secara eksplisit
mengemukakan larangan bagi wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim,
maka tidak ada satupun ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.

Sehingga kemudian pilihan yang sering dianggap terbaik adalah meminta
pria non-muslim tersebut untuk menjadi muslim terlebih dahulu untuk
memenuhi syarat sah pernikahan sesuai Hukum Islam.

Kalau pria non-muslim tersebut bersedia, maka pernikahan dapat
dilangsungkan, namun kalau ia tidak bersedia, maka pernikahan tidak
dapat dilangsungkan.

Akan tetapi, apa yang akan terjadi apabila di kemudian hari si pria
non-muslim itu kembali kepada keyakinannya semula alias MURTAD (keluar
dari Islam) setelah pernikahan tersebut berlangsung? Fenomena ini
sering terjadi karena pada dasarnya ia memeluk Islam bukan karena
mendapatkan hidayah atau menemukan kebenaran Islam, melainkan karena
ingin mendapatkan wanita muslim tersebut.

Apabila yang terjadi adalah demikian maka pernikahan tersebut dalam
Hukum Islam dianggap batal.

Ada tiga pendapat terkait waktu batalnya pernikahan akibat murtadnya
suami (yang menyebabkan antara suami isteri menjadi berbeda agama),
yaitu :

Pendapat pertama :

Pernikahan menjadi batal seketika itu juga, baik sebelum atau
sesudah bersetubuh. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah, [1]
Malikiyah [2] dan salah satu dari dua riwayat yang ada dari Ahmad.
Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, Umar bin Abdul
Aziz, Ats-Tsauri, Abu Nur dan Ibnu Al-Mundzir.[3]

Penjelasan untuk Pendapat Pertama :
Orang yang murtad diqiyaskan kepada orang yang mati, karena
merupakan sebab buruk yang ada pada dirinya, sedangkan orang yang
mati bukanlah obyek untuk dinikahi. Oleh karena itu, tidak boleh
menikahi orang yang murtad sejak zaman dahulu, dan selanjutnya
ketentuan tersebut akan tetap demikian.

Pendapat Kedua :

Apabila murtadnya sebelum melakukan persetubuhan, maka pernikahan
tersebut batal seketika itu juga. Namun apabila murtadnya setelah
melakukan persetubuhan, maka pembatalan pernikahannya ditangguhkan
hingga masa iddahnya habis. Jika orang yang murtad itu kembali
masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka dia tetap pada status
pernikahannya. Dan jika dia masuk Islam setelah masa iddahnya habis,
maka antara keduanya telah dinyatakan cerai sejak dia murtad.
Pendapat ini dianut oleh madzhab Syafi’iyah [4] dan Hanabaliyah dalam
sebuah riwayat yang masyhur dari mereka [5].

Penjelasan untuk Pendapat Kedua :
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]

2. Sebab, murtad merupakan perbedaan agama, yang dapat menghalangi
untuk mendapatkan dirinya, sehingga pernikahan pun menjadi batal.
Hal ini sebagaimana jika seorang istri masuk Islam, sementara dirinya
berstatus sebagai istri dari suami yang kafi. [7]

Adapun jika murtadnya setelah melakukan persetubuhan, maka
pembatalan pernikahannya kita tangguhkan sampai masa iddahnya
habis. Dalam menentukan yang demikian itu, mereka beralil dengan
qiyas.

Mereka berkata : Sesungguhnya salah seorang dari pasangan suami-
istri yang murtad atau berbeda agama setelah melakukan persetubuhan,
maka pernikahannya tidak harus menjadi batal pada saat itu juga.
Hal ini sebagaimana jika salah seorang dari suami-istri yang sah
masuk Islam. [8]

Pendapat Ketiga :

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya,Ibnul Qayyim,
apabila salah seorang dari pasangan suami-istri murtad, maka
pernikahannya harus dibekukan. Apabila dia kembali masuk Islam,
maka pernikahannya sah lagi, baik dia masuk Islam sebelum bersetubuh
atau setelahnya, baik dia masuk Islam sebelum masa iddahnya habis
atau sesudah masa iddahnya habis [6]

Penjelasan untuk Pendapat Ketiga :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam rangka mejelaskan
bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari suami-istri murtad,
maka pernikahan keduanya harus dibekukan : “Demikian pula masalah
murtad, pendapat yang menyatakan harus segera diceraikan adalah
menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sebab pada masa beliau, banyak pula manusia
yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya tidak ikut murtad.
Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri mereka
pun kembali lagi kepada mereka.

Tidak pernah diketahui bahwa ada seorangpun dari mereka yang
disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal, sudah pasti bahwa
di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi
masa iddah. Demikian pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-
istri mereka yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menanyakan secara mendetail kepada
seorang pun dari suami-suami yang murtad, apakah ia masuk Islam
setelah masa iddah istrinya habis atau sebelumnya [9]

Apabila suami MURTAD (kembali ke agama asal), maka pernikahan menjadi
batal demi hukum yang dalam istilah fiqih disebut fasakh (arti literal,
rusak). Ini adalah pendapat dari mayoritas pakar syariah madzhab yang
empat yaitu madzhab Syafi’i, Hanafi, Hanbali.[1] Artinya, tidak ada
hubungan pernikahan lagi antara suami dan isteri. Dan hubungan intim
setelah itu dianggap zina.

Sedangkan menurut madzhab Maliki, suami murtad akan berakibat istri
tertalak tiga secara otomatis.

Beda antara talak dan fasakh adalah fasakh berakibat putusnya nikah
sama sekali. Dan tidak ada masa iddah bagi istri. Sedangkan talak
berarti putusnya perkawinan dengan adanya masa iddah bagi istri

sumber :
http://www.alkhoirot.net/2012/08/status-pernikahan-suami-yang-murtad.html).
http://hukum.kompasiana.com/2013/11/19/hukum-pernikahan-beda-agama-
dalam-agama-islam-610842.html

Kitab Penjelas Tambahan :

[1] - Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i menyatakan dalam kitab Al-Minhaj

Artinya: Apabila nikah batal (fasakh) karena sebab murtad setelah
terjadinya hubungan intim maka istri berhak mendapat mahar atau
maskawin (kalau mahar belum dibayar). Perpisahan suami-istri karena
murtad disebut fasakh.

- Al-Ibadi dari madzhab Hanafi mengatakan dalam kitab Mukhtashar Al-Qaduri

Artinya: Apabila salah satu suami-istri murtad dari Islam maka
terjadikan perpisahan (firqah) yang bukan talak. Menurut Abu Yusuf,
apabila yang murtad itu suami maka disebut talak.

- Dalam kitab Daurul Hukkam madzhab Hanafi juga dikatakan

Artinya: Murtadnya salah satu suami-istri membatalkan nikah secara
otomatis tanpa perlu keputusan hukum pengadilan.

- Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali menyatakan dalam kitab Al-Muqni’

Artinya: Apabila salah satu suami-istri murtad (keluar dari Islam)
sebelum dukhul (hubungan intim) maka nikahnya batal (fasakh) dan istri
tidak berhak atas mahar apabila istri yang murtad apabila suami yang
murtad maka istri berhak mendapat separuh mahar. Apabila murtadnya
setelah hubungan intim maka apakah pisahnya langsung atau menunggu
selesainya masa iddah? Ada dua pendapat.

Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita (non-muslim) dalam Hukum Islam :

Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita non-muslim yang dimaksud dalam
Hukum Islam adalah apabila Wanita Non-muslim tersebut adalah dari
golongan ahli kitab, artinya orang yang mengimani kitab terdahulu,
dalam hal ini Wanita Nasrani dan Wanita Yahudi, maka pernikahan ini
diperbolehkan.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah 5:5

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al Kitab sebelum kamu.

Sebagian Sahabat Nabi juga menikahi wanita ahlul kitab (Nasrani dan
Yahudi) seperti Utsman bin Affan dan Talhah bin Ubaidillah yang menikah
dengan wanita Nasrani dan Hudzaifah yang menikahi wanita Yahudi.

Wallahu A’lam Bishawab (Hanya Allah Mahatahu yang benar/yang sebenarnya).

Sumber :
http://sebagianduniaku.blogspot.com/2010/10/mari-merenung-dengan- artikel-murtad.html
_______________

Video Pendukung
_______________


__________

Penutup
__________

Demikian sajian informasinya dan...

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh...!
_____________________________________________________________
Cat :

No comments:

Post a Comment