Monday, July 22, 2013

Renungan Ramadhan 1434 H : Hidup ini bagai titian (Pangitean di hangoluan)

#SELAMAT MALAM PARA KAUM MUSLIMIN MUSLIMAT#
(Mengambil hikmah dari istilah "Hidup ini bagai titian")
_____________________________________________________________









Assalamu'aaikumwarahmatullahiwabarakatuh...!

_______________

Kata pengantar
_______________

Untuk mengisi blog galeri MSAD Sipirok Masholi ini, malam ini
penulis menyajikan sekilas pemikiran penulis di bogor yang
teringat pada huta hatubuan sekaligus teringat pula sama
lagu-lagu qasidah Asmida Darwis dan Nur Asiah Jamil.

Pemikiran dan ketringatan ini, coba penulis tuangkan lewat
tu lisan dibawah ini dengan maksud sebagai bahan masukan
bagi kita dalam menjalani hidup ini agar lebih baik.

Penulis kasih judul tulisan ini dengan judul "Renungan :
Hidup ini bagai titian", bukanlah maksud agar pembacanya
jadi merenung, karena apa pun yang direnungkan biasanya akan
terkesan serius.

Tapi maksudnya agar tulisan ini terkesan serius, karena apapun
yang direnungkan biasanya serius.

Semoga memberi manfaat dan selamat membaca. Botima...!

_________________________

Hidup Ini Bagai Titian
_________________________


Seperti biasa dimalam-malam bulan ramdhan ini, sehabis sahur
penulis selalu nongkrong di teras rumah sambil menunggu
datangnya waktu subuh. Sementara istri tercinta kadang ikut
menemaninya ngobrol untuk kemudian balik lagi ke dapur.

Setelah dari dapur beliapun akan datang lagi sebentar ke depan
untuk menyelesaikan obrolan. Tapi obrolan belum selesai beliapun
balik lagi kedapur.

Entah maungapain tak tau awa. Namun beberapa saat datang lagi
kedepan untuk kembali menyelesaikan obrolan yang belum selesai.
Begitulah kejadian berulang dikeluarga kami di malam-malam bulan
ramadhan ini.

Tapi malam ini lain, beliau habis sahur lebih memilih menonton TV.
Sesekali penulis perhatian beliau, ternyata cukup sibuk. Sibuk
meng SMS, sibuk menelepon. Entah siapa yang di sms dan telepon
tak tau awa, namun setiap pembawa acara memberitahu berapa jumlah
hadiah yang mau diberikan matanya selalu terbelak. "Ah...biarlah
begitu...toh agama juga tidak melarang untuk mencara hadiah" begitu
pikir penulis.

Dan dalam kesendirian di teras rumah ini, sebatang rokok mastangpun
saya "alsik". Mungkin saja pada alsikan ke tujuh, tiba-tiba pikiran
saya melayang ke huta hatubuan, huta hagodangan huta parmayaman.

Saya teringat masa kecil saya juga teringat tanggal lahir saya.
Ya...tanggal lahir saya 2 Mei 1967. "Umur yang masih muda rupanya"
begitu pikir saya sambil mengingat tahun kelahiran orang lain
yang mungkin saja lahir tahun 61, 62 atau 63.

Tapi saya kemudian sadar, bahwa sekarang sudah tahun 2013 bulan
Juli lagi. "Jika 2013 di kurang 1967 bukankah 72...! Sudah tua
rupanya saya" kata hati ini pula. Ah...dunia...dunia...!

Mengetahui usia saya yang hampir 72 tahun ini, menimbulkan tanya-
tanya dalam hati, sapa-sapa dibagasan roha bahasa hitana :

- Untuk apa saya dilahirkan ke duania ini...?
- Apakah saya di lahirkan kedunia ini untuk surga...?
- Atau saya dilahirkan untuk neraka...?
- Apa yang harus saya pilih, surgakah atau neraka...?

Ah....!

"Sadarkah anda ini kan kemana...
dilahirkan kedunia untuk apa...
untuk surga atau untuk neraka...
silakan pilih mana anda suka..."

kata baihaki lewat olah vokalnya Asmida Darwis



mengetahui pilihan surga, diri ini jadi teringat pada yang namanya
halal, zikir, amal, sholat, puasa, sadaqoh, qona'ah, haqqul tauhid,
haqqul yakin, mengaji

sedangkan mengetahui yang namanya neraka diri ini jadi teringat
yang namanya haram, yang namanya gutgut, dokki, kebohongan, korupsi,
merampok, membunuh, mencopet

Saya jadi gelisah, saya jadi resah...setelah mengetahui ini semua.
mana yang sudah saya laksanakan dan mana yang belum saya laksanakan.
Pada pilihan surga...! Sudahkah semua saya laksanakan. Bagaimana dengan
pilihan nerakanya, haruskah saya akui bahwa saya juga ikut terlibat.
Ah...! Aku sudah tua, bagaimana aku memperbaiki ini semua.

Saya benar-benar resah...saya benar-benar gelisah. Gelisah dan resah
karena saya takut, saya belum memperbaikinya tapi jasadku sudah tiada,
sudah bercerai dengan dunia :

Walau diri resah gelisah
dan air mata titik berderai
tibalah kini masa berpisah
disimpang jalan kita bercerai





Bercerai dengan dunia, dengan orang tua, dengan istri, dengan suami,
dengan anak dan dengan koum sisolkot sasudena. Karena memang demikianlah
hidup, tidak abadi usia ini dan tardeteksi umur itu.

Hidup terasa benar seperti titian, titian yang harus kita jalani sejak
kita lahir sampai ke alam yang akan kita nanti.

"Sadarkah dirimu wahai insan
hidup ini hanya bagai titian
antara hidup yang kita jalani
dengan alam yang sedang
kita nanti"

Sambung Asmida Darwis pula.





"Tapi benarkah hidup ini bagai titian...?" tanya hati diri ini.

Teringat tentang titian, teringat pula saya sama yang namanya jembatan.
Dan di Tapanuli Selatan ada yang namanya jambatan aek lappesong, jambatan
sidodang-dodang, jambatan Situmba, jambatan anturmangan, jambatan
Baringin, jambatan bunga bondar dan jambatan batang toru.

"Dari segi fungsi mungkin saja semua jembatan ini sama, karena hanyalah
jalan sebagai tempat menyeberang. Tapi bagaimana dengan panjang pendeknya.
Apakah sama panjangnya jambatan Sisodang-donang dengan jambatan Batang
Toru...? Bagaimana pula dengan jembatan yang di PSP itu, samakah pedeknya
dengan yang di Situmba" pikir penulis.

Ah...saya yakin tidak. Tidak sama panjangnya jembatan tersebut, "Inda
sarupo ginjang ni titiani" begitu kata lainya.

Dan ini sama artinya dengan tidak samanya umur atau usia manusia
bagi setiap orang. Ada yang dalam usia 15 tahun habis masa titiannya,
ada yang 25 dan ada pula yang 75 tahun

"Maka benarlah hidup ini bagai titian antara hidup yang kita jalani
dengan alam yang sedang kita nanti". kata hati diri ini.
.

















Bagaimana pula dengan kondisi setiap titian, "Sude dehe jeges jembatan
na di lalui ni jolmai" tanya diri ini pula disela-sela pemberitahuan
dari masjid bahwa waktu imsak tinggal 15 minit nai.

Pikiran ini pun kembali melayang, keberapa jembatan yang telah penulis
pernah lalui. Pertama penulis ingat jembatan aek lappesong sekitar
tahun 86, tulang saya yang sekaligus guru ngaji saya, si Dasopang
pernah hampir terperosok di jembatan ini waktu subuh. Untung lewat
orang tua penulis pada saat itu, kalau tidak tulang saya ini bisa
terperosot jatuh kebawah karena setengah dari badannya telah di
bawah jembatan, kata orang tua penulis.

Jembatan lainnya yang penulis ingat adalah jembatan gantung di
Si bulan-bulan sekitar tahun 87. Sungguh ngeri melewati jembatan
ini. Sudahlah sungainya besar, jembatannya bergoyang-goyang lagi dan
itu mungkin mengapa jembatan ini disebut orang juga dengan rambin.

Dan masih banyak lagi jembatan di nusantara ini, yang bukan saja
berlobang-lobang atau bergoyang-goyang bahkan ada yang namanya
jem batan layang.

Mengetahui hal ini, penulis jadi berpikir "Benar adanya hidup ini
bagaikan titian. Dan titian yang dilalui setiap orang bisa jadi
sama, tapi cara setiap orang dalam meluinya bisa jadi berbeda. Ada
yang melaluinya dengan kesabaran dan ada pula yang terburu nafsu
hingga tak heran, perbuatannya bukan saja membahayakan dirinya
tapi juga membahayakan orang lain.

"Maka benarlah hidup ini bagai titian antara hidup yang kita jalani
dengan alam yang sedang kita nanti". kata hati diri ini.
















Tak jauh beda dengan jembatan yang sesungguhnya, kadang yang
rusak itu hanya di permulaanya saja, tapi ada juga yang di tengah,
pun ada yang pas dipinggir jembatan itu. Sedangkan yang lainnya
mulus tanpa rusak sedikitpun.

Hubungannya dengan "Hidup ini bagai jembatan atau titian, atau
rambin atau pangitean" maka seorang manusia bisa saja sejak
kecilnya cukup menderita dalam perjalanan hidup. Ayah tak punya
ibu entah kemana, sedangkan titian tetap harus dilalui.

Tapi setelah dia besar, ternyata hidupnya cukup membahagiakan,
sudah kaya, pintar, penyabar,  naik haji dan istrinya cantik lagi.

Pun sebaliknya, baru mulai me niti jembatan sudah senangnya
bukan main, egois, sok jago, semuanya bisa diatasi yang penting
duit, mobilpun dia punya. Tapi begitu dia menikah habis sude,
rumah disita, mobil junggelek dan istripun kabur, sementara
titian yang mau dilewati suadah hampir mau sampai,  60 tahun
sudah umur tapi belum tobat juga.

Ehem...!

"Maka benarlah hidup ini bagai titian antara hidup yang kita jalani
dengan alam yang sedang kita nanti". kata hati diri ini.
















_________

Penutup
_________

Setelah mengurai kejadian diatas penulis ingin berkata, "Sungguh tidak
susah menjadi orang baik. Begitupun menjadi orang jahat. Sungguh
tidak susah membuat pilihan menjadi sorga atau neraka. Semuanya
tersedia dan ada jalannya dan ada titiannya".

Kita pilih yang mana...? Semuanya berpulang pada pribadi masing-
masing orang. Begitupun jika penulis boleh berharap, "Kiranya kita
semua adalah pemilih titian yang berakhir dengan sorga itu"
Amin ya robbal alamin...!

Dan sebagai penutup renungan...!
Lagu "Titian Hidup" untuk anda, beserta "Pilihan Terakhirnya".
Nangkon pala tangis da...

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh...!



  _______________________________________________________________
Cat :
* Pada pemilik gambar penulis mohon ijinnya dipostingkan di blog ini
dengan maksud untuk lebih mendukung tulisan. Botima.

* Bagi anda yang ingin mengetahui jembatan Batang Toru dalam
mengertian yang sebenarnya dapat meniti lewat link :
http://akhirmh.blogspot.com/

Sedangkan jembatan Sibulanbulan lewat link :
http://nbasis.wordpress.com/tag/sibulan-bulan/




No comments:

Post a Comment